Sebuah Harapan

"Sampai pukul berapa toko itu buka?" tanyanya. Tutup kalau yang jaga sudah ngantuk, tapi, biasanya jam segini masih buka. Begitulah jawabanku kepada dia. Jam 23.00 WIB, di mana sebagian besar orang pasti sudah beristirahat, menjelajahi dimensi lain bernama mimpi, atau memikat tidurnya dengan malam yang gelap. 

Dia mengeluarkan uang dan keluar untuk membeli sebungkus mie instan. Seharian ini tak ada yang dia lakukan dan dia terus makan makanan yang ada di rumah, kenapa di jam yang larut ini dia juga masih memaksa lambungnya bekerja, sama seperti manusia, saya sudah mengingatkannya untuk memberikan istirahat kepada organ-organ yang ada di dalam tubuh.

Sayangnya, aku pun ikut tergiur merasakan hangatnya mie kuah rasa soto yang ia buat. Ia menyodorkan mangkok berisi mie rasa soto. Mie kuah rasa soto dengan campuran telur, serta hangatnya teh di tengah cuaca dingin setelah hujan turun, ah perpaduan yang indah. Tentunya dilengkapi dengan ia yang siap mendengarkan celotehanku. 

Lima menit berlalu, tapi ia hanya diam, aku belum membuka suaraku sebelum ia membuka percakapan, tapi, sampai mie yang aku nikmati sudah habis hampir separo, ia tak kembali berbicara.

"Ada apa?" tanyaku. 

Ia menoleh dan aku hanya dapat jawaban berupa gelengan kepala. Aku tak apa dia seperti itu, sudah biasa, tapi, aku jadi terpikir kalau misalkan yang di sebelahku ini bukan dia, melainkan makhluk lain. 

"Aku ingin menikmati menit-menit sebelum hari ulang tahunku, dengan tenang"  katanya. 

Ah lega sekali, ternyata dia bukan setan.

30 menit berlalu sejak kami berdua menghabiskan makanan kami, hingga tetes terakhir. Aku yakin dia sekarang sedang memejamkan mata, sambil berharap sesuatu yang besar di usianya yang semakin bertambah. 

"Bolehkah aku bertanya?" tanyaku dengan hati-hati. 

Ia menjawab dengan anggukan semata. 

"Apakah kamu berharap sesuatu?" sambungku. 

Kali ini bukan ia yang akan menjadi pendengar, melainkan aku. 

Katanya, ia mendambakan kehidupan remaja yang indah, mendapat peringkat 1 di kelas dan tidak perlu dibandingkan dengan orang lain. Ia berharap bahwa ia akan dipandang mampu meskipun posisinya tidak jauh di bawah ekspektasi orang-orang. Ia berharap ia berani mengungkapkan apa yang ia mau dan menghargai perasaannya. Ia berharap pada akhirnya tau di mana letak awal kesalahan dalam hidupnya. Ia berharap ia bisa belajar dari sesuatu, meskipun bukan dari hal yang baik dan yang terpenting adalah ia berharap tidak pernah bertemu dengan laki-laki dalam hal romantis.

“Memangnya kenapa dengan laki-laki?” kutanya. 

Dia tak pernah membicarakan hal ini denganku sebelumnya, mungkin selama ini dia pendam sendiri. Dia suka menjadi tak terbaca, membuat batas dengan orang lain, seolah-olah ingin menghilang dari dunia ketika dikunjungi suatu masalah. Dia tidak pernah berani menghadapi masalah, dia memilih jalan pintas dengan kabur begitu saja. Akhirnya masalah itu hanya tertunda dan terpendam, tak pernah benar-benar terselesaikan.

Pada awalnya aku benar-benar ingin menyerah dan selesai, tapi, dalam perjalanannya aku mulai memiliki banyak harapan. Aku mulai menantikan hari esok dengan malam yang penuh pikiran tentang kamu. Menantikan sudut di mana kamu muncul secara tidak terduga. Atau mungkin hanya menantikan satu kalimat yang kamu kirim di penghujung malam. Kemudian, aku selalu berharap waktu bersamamu menjadi lebih panjang, sampai akhirnya aku tidak puas. Aku ingin selalu mendengar kabarmu, mendengar cerita apapun darimu.

Aku juga punya banyak cerita membosankan untuk kamu tanyakan, yang selalu aku bilang tidak penting, hingga kamu minta beberapa kali untuk kuceritakan saja. Kamu jadi orang pertama yang aku pikirkan ketika aku butuh untuk didengarkan dan aku ingin kamu selalu siap untuk menanggapi ceritaku atau sekadar menjawab pertanyaan sepele dariku. Benar kata orang, manusia tidak pernah puas. Sekarang, aku malah bergantung padamu.

Ia mengatakan hal itu dengan raut wajah yang tak bisa ditebak, senang lalu sedih, dan sekarang lebih mirip dengan wajah orang yang sedang kebingungan. Ia tidak yakin dengan segala harapan yang ia langitkan sendiri, meskipun ia yakin Tuhan mampu menjawab harapannya, namun, yang jadi masalahnya adalah ia bahkan tak terbayang bisa melunasi harapannya sendiri. Sama seperti harapan yang pernah ia gantungkan kepada seseorang. Yang akhirnya hanya sekedar harapan belaka, karena tak ada lagi waktu yang lebih panjang untuk hal-hal seperti itu.

Komentar

Postingan Populer